Kepulauan Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng tektonik utama dunia yang terus aktif bergerak, yaitu Lempeng Eurasia, Indo Australia dan Lempeng Pasifik. Selain itu terdapat pula Lempeng mikro Filipina, yang bergerak ke arah selatan di sebelah utara Sulawesi. Oleh karena itu tidak mengherankan bila wilayah kepulauan Indonesia menjadi wilayah yang rawan gempabumi tektonik.
Peta lempeng-lempeng tektonik di wilayah Indonesia. Panah merah menunjukkan arah pergerakan lempeng tektonik
Dimana saja gempabumi pernah terjadi? Sebaran posisi pusat gempa yang pernah terjadi di Indonesia digambarkan dalam peta seismisitas. Peta seismisitas hanya menampilkan sebaran pusat gempa utama saja. Kedalaman pusat gempa dan magnitudo gempa disajikan dalam simbol lingkaran berwarna merah, kuning dan hijau. Banyaknya lingkaran seismisitas pada suatu daerah menunjukkan seringnya kejadian gempa di daerah tersebut. Pulau Kalimantan memiliki seismisitas yang paling rendah dibandingkan pulau-pulau lain di Indonesia. Artinya, pulau Kalimantan sangat jarang dilanda gempabumi.
Peta sebaran posisi titik gempabumi di wilayah Indonesia dengan kekuatan dan kedalamannya
Kejadian gempabumi sering mengakibatkan kerusakan bangunan (rumah, sekolah, perkantoran, pusat perbelanjaan) dan terkadang juga diikuti tsunami. Namun yang terpenting adalah dampak kerugian korban jiwa harus dihindari semaksimal mungkin; dan itu diawali oleh sebuah kesadaran dan kewaspadaan masyarakat akan datangnya gelombang gempabumi. Mereka yang terlambat menyadari adanya gempabumi berpotensi menjadi korban.
Memukul kentongan, saat gempabumi terjadi, adalah cara tradisional untuk menyadarkan masyarakat bahwa sedang ada gempa. Di zaman modern ini, dibutuhkan kentongan canggih, berupa alarm/sirine gempa yang bisa membedakan antara getaran yang disebabkan oleh gelombang gempabumi dan getaran yang disebab oleh selain gempabumi.
EWAS adalah kentongan modern yang akan berbunyi ketika gempabumi datang
Earthquake Warning Alert system (EWAS) adalah sebuah sistem pendeteksi guncangan yang difungsikan untuk memberikan tanda peringatan kehadiran gempabumi kepada masyarakat secara otomatis dan sangat cepat. EWAS memberi tanda peringatan gempabumi berupa bunyi sirine yang sangat keras di tengah masyarakat, tepat saat guncangan gempa terjadi. EWAS efektif mendeteksi guncangan gempabumi dan membunyikan alarm peringatan dalam waktu kurang dari 5 detik. Masyarakat setempat tidak harus menunggu pesan SMS atau whatsapp yang mengabarkan gempa selang 5 – 10 menit setelah gempa terjadi.
Ketika alarm EWAS berbunyi, sudah pasti itu akibat gempa, bukan karena truk melintas atau karena adanya perkerjaan renovasi/konstruksi bangunan. Masyarakat tidak perlu ragu untuk segera bergegas keluar bangunan menuju tempat yang lapang, agar terhindar dari bahaya terkena runtuhan bangunan.
Sistem EWAS terdiri atas sejumlah node detektor getaran tanah yang dipasang di suatu kawasan pemukiman, misalnya suatu desa atau kelurahan; atau gedung apartemen, gedung perkantoran, pusat perbelanjaan, kawasan industri hingga daerah wisata pantai dan pegunungan serta tempat wisata lainnya yang ramai pengunjungnya. Setiap node saling berkomunikasi melalui gelombang radio. Sehingga jarak antar node tergantung dari daya jangkauan komunikasi radio antar node. Sejauh ini, jarak antara node yang sudah terpasang di sejumlah daerah memiliki jarak sekitar 200-300 meter.
Ketika sebuah node mendeteksi adanya getaran, belum tentu node disekitarnya mendeteksi getaran disaat yang sama. Sebab bisa jadi sumber getaran sangat dekat dengan node yang mendeteksi getaran. Misalnya akibat dari kendaraan besar yang melintas di dekat node dan getarannya terdeteksi node. Atau bisa juga berasal dari aktivitas sekelompok orang di sekitar node yang sedang melakukan pekerjaan konstruksi bangunan. Getaran lokal seperti itu tidak akan terdeteksi oleh node lain yang berjarak 200 – 300 meter.
Jika sebuah node mendeteksi getaran, ia akan berkomunikasi dengan node sekitarnya. Isi pesan komunikasinya berupa pertanyaan, “Apakah disana mendeteksi getaran?”. Dan dijawab oleh node sekitarnya, “Disini tidak mendeteksi getaran”. Maka sistem EWAS menyimpulkan tidak ada gempabumi; dan alarm tidak dibunyikan.
Ketika terdapat dua node mendeteksi getaran, sistem EWAS juga tidak menyimpulkan getaran tersebut bersumber dari gempa, meskipun kedua node tersebut terpisah sejauh 200 – 300 meter. Karena bisa jadi sumber getaran berasal dari iring-iringan kendaraan besar yang kebetulan melintas pada saat yang bersamaan di sekitar kedua node tersebut, sebagaimana yang pernah terjadi di Desa Sembalun Bumbung, Kab. Lombok Timur, NTB. Atau bisa jadi sumber getaran berasal dari aktifitas warga yang kebetulan menghasilkan getaran yang bersamaan.
Sistem EWAS akan menyimpulkan kehadiran gempabumi ketika terdapat minimal tiga node mendeteksi getaran di saat yang bersamaan. Node yang mendeteksi getaran akan mengirim pesan konfirmasi kepada node-node terdekat apakah disana juga mendeteksi getaran. Ketika diperoleh dua konfirmasi positif adanya getaran, maka sistem EWAS akan menyimpulkan bahwa gempabumi sedang terjadi. Selanjutnya ketiga node akan mengirimkan sinyal perintah ke semua node agar semua node membunyikan alarm. Mekanisme seperti ini berlangsung dalam tempo kurang dari 5 (lima) detik. Suara alarm akan terdengar selama 1 (satu) menit. Begitu alarm berhenti berbunyi, seluruh node langsung berada dalam posisi siaga mendeteksi getaran kembali.
Masyarakat sangat menyambut baik kehadiran Alarm EWAS di desa mereka. Namun mereka pesimis dengan sumber daya listrik alarm EWAS yang menggunakan listrik dari PLN. Sebab selain membebani tagihan listrik, aliran listrik PLN di desa mereka tidak selalu stabil. Dan ketika ada gempa, seringkali seketika aliran listrik berhenti mengalir, sistem EWAS tidak bisa bekerja.
Atas masukan masyarakat tersebut, sumber daya listrik sistem EWAS diganti dari listrik PLN menjadi solar panel yang mengandalkan sinar matahari.
Persoalan berikutnya yang mesti diatasi adalah media penyimpanan listrik yang dihasilkan dari solar panel. Kalau menggunakan aki (accu) tentu akan menambah bobot EWAS dan menarik perhatian pencuri aki. Tim peneliti akhirnya memilih penyimpanan listriknya menggunakan battery yang dilengkapi dengan modul Battery Management System (BMS) rancangan sendiri.
Maka kedepan, sumber daya listrik EWAS punya dua opsi, yaitu menggunakan listrik PLN ditambah battery atau menggunakan solar panel + battery.
Perbedaan mendasar antara EWAS dengan sistem informasi gempa bumi yang ada adalah peringatan dini yang diberikan berfokus pada masyarakat. Sinyal guncangan gempa akan langsung diterima oleh masyarakat dalam bentuk suara alarm/sirine tepat saat gempa terjadi.
EWAS tidak membaca parameter-parameter gempabumi. EWAS tidak menentukan dimana dan di kedalaman berapa pusat gempabumi berada ataupun besar magnitudonya. Sistem EWAS hanya dirancang untuk memastikan kehadiran gempabumi di suatu wilayah. Caranya dengan menempatkan sejumlah node detektor getaran tanah secara berjauhan minimal 200 meter. Jika tiga buah node detektor merasakan getaran tanah secara bersamaan, maka dipastikan pemicu getaran tanah berasal dari guncangan gempabumi.
EWAS memberi tanda peringatan tepat saat tanda kegempaan terdeteksi atau kurang dari 5 detik, sehingga diharapkan masyarakat mempunyai cukup waktu untuk melakukan evakuasi penyelamatan secara mandiri
Bagi yang tinggal dekat dengan pantai, terapkan prinsip 20-20-20. Ketika merasakan gempa selama lebih dari 20 detik, meskipun tidak besar gempanya, anda harus mengevakuasi diri setelah gempa berhenti. Kemungkinan besar tsunami akan tiba dalam waktu 20 menit setelah gempa dan kemungkinan besar ketinggian tsunami akan mencapai 20 meter, jadi harus mengevakuasi diri ke tempat yang lebih tinggi atau gedung tinggi yang minimal ketinggiannya 20 meter
Professor Ron A. Harris, peneliti Gempabumi dan Tsunami Brigham Young University (BYU), Amerika Serikat
Dua pemuda Desa Sembalun Bumbung, Lombok Timur sedang memasang sebuah node detektor getaran tanah
Instalasi EWAS sangat mudah dan cepat. Masyarakat cukup membaca dan memahami petunjuk pemasangan dan melakukan pengujian untuk memastikan sistem EWAS terpasang dengan benar. Setiap node detektor getaran tanah dipasang di berbagai tempat yang strategis, sehingga suara alarm tanda peringatan datangnya gempabumi dapat menjangkau suatu wilayah secara maksimal. Jarak minimum antar node detektor bergantung pada kondisi wilayah, kepadatan, topografi, dan spesifikasi antenna yang digunakan.
Secara umum, node detektor getaran tanah tidak memerlukan perawatan khusus. Jika dijaga dengan baik, alat ini mampu bersiap-siaga memberikan rasa aman pada warga dalam jangka waktu yang lama.
BMKG @infoBMKG – 5 Nov 2018
#Gempa Mag:4.6, 06-Nov-18 08:00:14 WIB, Lok:8.47 LS, 116.57 BT (Pusat gempa berada di darat 4 km Timur laut Lombok Timur), Kedlmn: 10 Km Dirasakan (MMI) V Lombok Utara, V Lombok Timur, IV Lombok Barat, IV Mataram, III Lombok Tengah #BMKG
BMKG @infoBMKG – 26 Dec 2018
#Gempa Mag:4.9 SR, 26-Dec-18 19:22:22 WIB, Lok:8.27 LS, 116.85 BT (19 km Barat Laut P. Panjang-NTB), Kedlmn: 10 Km dirasakan di Lombok Utara dan Lombok Timur IV MMI, Lombok Barat III MMI, Karangasem dan Mataram II MMI #BMKG
BMKG @infoBMKG – Mar 17
#Gempa Mag:5.8, 17/03/2019 14:07:25 (Pusat gempa di darat 24 km Timur Laut Lombok Timur), Kedlmn: 10 Km Dirasakan (MMI) III-IV Karangasem, III Denpasar, III-IV Sumbawa, IV Lombok Utara, III-IV Lombok Timur, III-IV Lombok Barat, III-IV Lombok Tengah, III Kuta, #BMKG
BMKG @infoBMKG – Oct 19
#Gempa Mag:2.6, 19/10/2019 22:15:04 (Pusat gempa di darat 19 km Timur Laut Ambon, 26 Km Barat Daya Kairatu-SBB), Kedlmn: 10 Km Dirasakan (MMI) II Ambon #BMKG
Dokumentasi Video
Ulasan Media
PATEN BIASA: IDP000091657, terhitung mulai tanggal 16 April 2019
ALAT PENDETEKSI GETARAN GEMPABUMI
Informasi lebih lanjut dapat menghubungi Sdr. Luthfi (WA. 0813-1580-9254)