Kita Butuh Representasi Jujur Arkeologi-Paleontologi di Ranah Publik!

Tulisan opini ini ditulis oleh Sukiato Khurniawan salah satu staf dosen dan peneliti dari Departemen Geosains FMIPA UI yang menekuni paleontologi dan arkeologi.

Setiap kali saya berbincang dengan kenalan baru dan memberitahu pekerjaan saya sebagai seorang ahli paleontologi (peneliti fosil) dan arkeologi, hampir 9 dari 10 kesempatan, saya selalu mendapat respon yang sama, “Oh, seperti Indiana Jones?” (sebagai arkeolog) atau “Wow, mau membangun Jurassic Park?” (sebagai paleontolog).

Saya akan selalu menjawab ya, karena Indiana Jones dan Jurassic Park adalah topik paling relevan untuk menjembatani obrolan kami. Namun ketika pembicaraan semakin berlarut, saya mengamati hal yang janggal: alih-alih memandang saya sebagai arkeolog atau paleontolog dengan pengalaman saya pribadi, saya merasakan bahwa orang itu menganggap sosok di hadapannya sebagai Indiana Jones, Alan Grant, atau Owen Grady (meskipun tentunya saya tidak setampan Chris Pratt atau segagah Harrison Ford).

Awalnya saya merasa bangga karena kedua profesi yang saya geluti memiliki representasi yang sangat populer di kalangan masyarakat, namun di sisi lain saya tak bisa memungkiri kegelisahan hati saya, “Apakah representasi ini telah mengacaukan reputasi arkeolog dan paleontolog? Apakah citra yang dibangun Indy, Alan, dan Owen telah menjauhkan pemahaman masyarakat dari pekerjaan arkeolog/paleontolog yang sesungguhnya? Singkatnya, apakah mereka telah membohongi publik?”

Dalam tulisan kali ini, arkeologi dan paleontologi akan dibahas berdampingan karena kedua bidang ilmu ini saling terkait, bahkan pada subjek tertentu, antara keduanya tidak bisa dibedakan ‘jobdesc’ keilmuannya. Contohnya, salah satu cabang arkeologi adalah zooarkeologi yang mempelajari secara mendalam tentang hewan-hewan purba (zoon=hewan), yang juga merupakan objek utama riset paleontologi. Oleh karena ini, arkeologi (artefak) dan paleontologi (fosil) dapat saling dipergantikan.

Arkeologi dan Indiana Jones
Hal yang paling mengesankan dari sosok Indiana Jones selain fedora, cambuk, dan tenaganya yang tak kunjung habis adalah petualangannya yang cukup mendebarkan. Di samping mengajar di kampus, ia punya waktu yang melimpah (untuk standar dosen) untuk mengejar Nazi ke Mesir, mencari Cawan Suci sampai ke Yordania, dan bertaruh nyawa menghadapi kelompok religius di India. Indy lebih sering terlihat menggunakan cambuk dan ototnya untuk memanjat, merangkak, dan berlari, alih-alih berkutat pada kuas, sekop tangan, dan catatan lapangan layaknya arkeolog pada umumnya.

Situs arkeologi atau budaya yang ditampilkan dalam blockbuster ini juga terkesan kurang realistis. Perangkap panah beracun, batu besar yang berguling, dan air yang dengan instan mengubah seseorang menjadi tengkorak hanyalah sebagian dari booby traps yang dijumpai Indy. Kenyataannya, perangkap seperti ini hampir tidak ada di lapangan. Bahkan “kutukan mematikan” yang menyegel makam Firaun di Mesir juga tidak serumit itu: hanya berupa inskripsi di dinding bertuliskan kutukan bagi siapa pun yang membukanya.

Di sinilah letak permasalahan pertama. Meskipun seluruh penggambaran Indy bisa dijustifikasi karena film ini adalah fiksi-fantasi, sayangnya publik telah memproyeksikan dengan mendalam citra arkeolog yang ditampilkan dalam sosok Indy ke dunia nyata. Apapun yang dilakukan Indy dianggap benar, representatif, dan realistis. Padahal, kenyataannya berbeda drastis dari yang digambarkan. Memang benar bahwa petualang arkeolog kerap kali cukup mengesankan: saya pernah menggali di tepi jurang tambang batubara Schöningen, Jerman, sebuah lokasi arkeologi dengan temuan tombak dan lembing purba yang sangat langka, saya pernah masuk ke dalam gua batugamping di utara kaki Gunung Slamet dan mendengar auman harimau (harimau jawa telah dinyatakan punah beberapa dekade yang lalu; suara apakah itu?), saya juga pernah merangkak dengan punggung untuk mencapai suatu titik di dalam gua di selatan Perancis untuk melihat cap tangan anak kecil Neandertal yang dibuat di langit-langit ceruk gua, dan hanya berjarak 10 cm dari mata saya. Sayangnya, pengalaman-pengalaman akademis ini ternyata “tidak cukup menarik, tidak cukup menantang, dan tidak cukup signifikan” dibandingkan dikejar bola batu seukuran gedung atau masuk ke dalam sarang ular di dalam makam Firaun. Arkeologi harus seperti pekerjaan mendebarkan Indiana Jones. Jika tidak, Anda belum pantas menyandang status arkeolog.

Permasalahan kedua adalah tentang pekerjaan Indy sendiri. Adegan awal di film Raiders of the Lost Ark, menampilkan Indy yang berusaha menjual artefak temuannya kepada Marcus Brody, kurator Museum Nasional. Tak hanya itu, pihak museum juga membayar Indy untuk mengumpulkan artefak untuk dikoleksi museum. Praktik “hire-to-acquire” ini pernah lazim dilakukan hingga abad ke-20, ketika etika tentang koleksi (acquisition) belum diatur dengan sangat ketat dan relasi kuasa yang tidak berimbang cukup berpengaruh.

Hal ini dapat membuat kesalahpahaman yang sangat fatal di kalangan masyarakat: jual-beli artefak (dan juga fosil) antara akademisi dan pihak museum seolah-olah wajar dan umum dilakukan. Padahal kenyataannya, jual-beli antar instansi hampir tidak pernah terjadi. Biasanya, koleksi universitas atau akademisi akan disumbangkan (bukan dijual) kepada pihak museum apabila objek tersebut dianggap tidak lagi relevan bagi instansinya (perbedaan visi misi, arah riset, dsb.), atau jika ada hal yang mengancam kelestarian objek itu di instansinya, sehingga museum dipercayakan untuk memeliharanya. Jika pun pemerintah membayar warga yang menemukan fosil, ini bukan transaksi jual-beli, melainkan insentif pemeliharaan selama disimpan sementara di rumah warga sebelum dipindahkan ke museum [1].

Penggambaran yang salah tentang jual-beli juga dapat menginspirasi masyarakat umum untuk berburu “harta karun”, menjual artefak/fosil kepada pihak perorangan atau institusi dalam dan luar negeri, dan sering kali tidak disertai dengan dokumentasi yang lengkap. Akibatnya, objek tersebut kehilangan makna dan luput dari studi akademisi yang seharusnya mampu menggunakan informasi objek itu untuk menguatkan identitas masyarakat, terutama dari daerah asal/budaya setempat.

Saya teringat ketika saya sedang meneliti fosil di sebuah situs di daerah pantai utara Jawa, suatu hari sekelompok lelaki menghampiri saya di kedai makan, menanyakan lokasi temuan fosil yang melimpah dan memaksa menaksir harga fosil. Tak berhenti sampai di situ, mereka juga berpesan jika saya menjual fosil yang bagus dan utuh kepada mereka, mereka akan dengan senang hati membayar berapa pun nominalnya. Saya hanya bisa menegaskan bahwa jual-beli fosil tidak etis dan ilegal, karena setiap temuan fosil adalah kekayaan alam milik negara yang harus dijaga untuk kepentingan umum. Tentunya, menjustifikasi jual-beli fosil dengan alasan “demi kesejahteraan masyarakat” adalah hal yang absurd, egoistis, dan tidak sustainable bagi kekuatan identitas masyarakat.

Permasalahan ketiga masih berkaitan dengan poin sebelumnya. Dalam Indiana Jones and the Last Crusade, diceritakan Indy kecil (13 tahun) melihat pemburu harta karun menemukan artefak salib emas dari zaman kolonial Spanyol, dan berkata, “That cross is an important artifact. It belongs in a museum (Salib itu adalah benda bersejarah penting. Tempatnya di museum).”

Pernyataan Indy mungkin sekilas terdengar benar: daripada jatuh ke tangan yang salah, artefak itu seharusnya diberikan kepada museum. Sayangnya, dalam ingatan masyarakat, yang lebih dikenang adalah kalimat kedua, it belongs in a museum. Akibatnya, kelompok masyarakat tidak segan untuk menjual temuannya kepada museum atau kolektor (umumnya di luar negeri), agar artefak tersebut bisa selamat. Selamat dari apa? Apakah museum lokal tidak menjamin keselamatan artefaknya? Mau tidak mau, kita harus menganalisis kembali trust issue di kalangan masyarakat akibat beberapa kali museum kita kehilangan koleksinya karena kurangnya pengamanan dan pemeliharaan [2, 3, 4, 5]. Adalah sebuah urgensi bagi para pengelola museum untuk memperbaiki kinerja dan citranya, agar kepercayaan masyarakat dapat tumbuh dalam mempercayakan pengelolaan dan pemanfaatan artefak untuk kepentingan yang lebih tepat sasaran, baik dari fungsi, makna, dan masyarakatnya.

Permasalahan ini juga dapat dilihat dari sudut pandang lain. Ekspedisi pengumpulan artefak, terkadang dengan cara yang ilegal, memaksa, dan tidak manusiawi adalah praktik yang sering terjadi dalam konteks kolonialisme [6]. Yang punya kuasa adalah pihak kolonial beserta simpatisannya, sementara pihak koloni dirugikan karena benda budaya sebagai representasi identitasnya kini luput dari genggamannya. Artefak ini biasanya berakhir di museum-museum kolonialis-imperialis, seperti Museum Volkenkunde Leiden dan Rijksmuseum Amsterdam (Belanda), British Museum (Inggris), dan museum etnografi negara barat lainnya. Beberapa tahun belakangan, museum-museum ini mulai memikirkan ulang praktik pengumpulan artefak koleksinya di era kolonial. Sebagian besar mulai serius membicarakan tentang repatriasi (pemulangan), bahkan beberapa institusi sudah menyusun skema pengambaliannya bersama negara terdampak. Hal ini dilakukan dengan asas restorative justice (memperbaiki kesalahan di masa lalu).

Dalam konteks pasca-kolonialisme, relasi kuasa dan klaim kepemilikan objek budaya ini ternyata tidak berhenti, namun bermanifestasi dalam bentuk yang tidak jauh berbeda. Akademisi ataupun kelompok tertentu yang memiliki kuasa bisa berperan sebagai pihak kolonial, mengambil artefak dari sebuah lokasi menjadi koleksinya (sering kali dengan menggunakan justifikasi “demi ilmu pengetahuan”), sementara masyarakat lokal tidak mendapatkan manfaat apa-apa. Manfaat tidak harus selalu diartikan dari segi ekonomi, melainkan terutama dari sisi sosial-budaya: temuan artefak tersebut dapat menjadi sebuah simbol dan bukti kebudayaan untuk menguatkan identitas dan kekayaan budaya masyarakat setempat. Dengan menjauhkan artefak dari kelompok masyarakat ini, menyimpannya di storage museum jauh dari jangkauan publik, bukankah ini adalah bentuk modern dari kolonialisme budaya? [7]. Meskipun dalam Indiana Jones and the Temple of Doom, Indy mengembalikan artefak Batu Sankhara kepada komunitas lokal, namun film ini dapat dilihat dengan perspektif berbeda karena penuh dengan misrepresentasi, rasisme, dan fetisisme budaya Asia, white supremacist, dan salvage paradigm yang tak bisa dilepaskan dari kolonialisme.

Ketiga poin ini menggambarkan bahwa representasi yang ditampilkan oleh film Indiana Jones (1981, 1984, 1989, 2008) adalah konsep usang dan tidak lagi digemari dalam dialog akademisi modern, khususnya di dunia barat yang konsep dekolonisasi dan pasca-modernismenya berkembang cepat. Tuntutan praktik ini adalah bahwa akuisisi dan kepemilikan artefak dan fosil tidak boleh diambil alih oleh pribadi dan instansi terpusat, terlebih oleh yang memegang kuasa, namun kepemilikan dan pemanfaatannya harus dikonsentrasikan kepada kebutuhan masyarakat, khususnya masyarakat yang terkait dengan objek budaya (artefak) dan alam (fosil) tersebut. Masyarakat relevan lah yang berhak atas objek ini: bagaimana objek tersebut dipahami dan diinterpretasi, bagaimana objek ini membawa manfaat tidak hanya ekonomi, namun juga dari segi identitas secara kolektif, dan memastikan agar objek ini dapat diakses secara terbuka, bukannya tersimpan dengan nyaman di balik tembok museum.

Paleontologi dan Jurassic Park
Berbeda dengan Indiana Jones yang terkesan lebih realistis, Jurassic Park sepenuhnya fiksi-fantasi: spesies dinosaurus yang beraneka jenis dihidupkan kembali dari DNA yang diekstraksi dari nyamuk yang terperangkap dalam amber (getah kayu yang mengeras). DNA ditemukan di material organik. Jadi, ketika fosil-fosil lain hanya ditemukan berupa tulang-belulang tanpa zat organik yang tersisa (kulit, daging, organ), maka tubuh nyamuk yang terlihat utuh dalam amber tentunya sangat menjanjikan untuk diambil DNA-nya. Namun, secara saintifik, hal tersebut mustahil dilakukan.

Ketika hewan mati, baik di permukaan tanah ataupun terperangkap di dalam amber, material organik yang mengandung DNA akan cepat rusak karena radiasi matahari yang kuat cepat memutus rantai penyusun DNA, terurai menjadi potongan kecil [8]. Jika kita ibaratkan DNA lengkap adalah kalimat:

Tuhan menyuruh saya pergi ke sawah dan mengambil air sumur yang keruh.

maka DNA yang rusak adalah u, an, uh, ay, t, erg, sawa, n, am, ai, mu, uh. Untuk mendapatkan potongan DNA yang lengkap, maka kita harus menyusun kembali potongan-potongan ini. Potongan “uh” mungkin bisa kita cocokkan dengan potongan lain menjadi “Tuhan”. Namun, “uh” juga bisa jadi berasal dari kaya “keruh” dan “menyuruh”.

Tak hanya itu saja, amber juga tidak sepenuhnya padat. Banyak sekali lubang halus di permukaan amber yang memungkinkan air untuk masuk dan merusak jaringan halus serangga dalam skala mikroskopis. Meskipun preservasi hewan tersebut terlihat sangat sempurna dengan mata telanjang, DNA telah hancur. Karena kompleksitas masalah ini, rekonstruksi dinosaurus a la Jurassic Park mungkin akan terus menjadi fiksi dalam waktu yang cukup lama hingga kita mampu menciptakan teknologi yang dapat mengidentifikasi DNA dinosaurus utuh untuk dijadikan acuan dalam rekonstruksinya.

Barangkali, proyek mammoth revival [9] lebih menjanjikan. Mammoth yang terakhir punah sekitar 4.000 tahun yang lalu banyak ditemukan dalam keadaan beku dengan daging dan darah yang masih utuh, terkubur dalam es dan tanah beku. Mendapatkan DNA yang lebih utuh, bahkan inti sel (nukleus) yang masih hidup dari bangkai ini cukup menjanjikan, setidaknya secara teoretis. Namun, untuk mengembangkan clonning hewan purba tidak semudah itu. Jika nukleus ataupun DNA berhasil ditemukan lengkap, sel ini perlu dimasukkan ke dalam ovum hewan yang masih hidup, dalam konteks ini, gajah asia dan afrika. Sayangnya, gajah modern berbeda jauh sifatnya dari mammoth, sehingga rahimnya tidak kuat untuk menumbuhkan bayi purba ini.

Oleh Jurassic Park, ilmu paleontologi telah diangkat citranya ke dalam pemahaman populer masyarakat dunia. Apabila arkeologi Indiana Jones mendapat tantangan tentang kegiatan arkeologi yang sehat, realistis, dan sesuai dengan perkembangan zaman, representasi paleontologi melalui Jurassic Park justru menyingkap konflik yang berbeda: etika.

Bagi para naturalis (peneliti alam), menghidupkan kembali dinosaurus dan hewan punah tentu adalah kabar baik. Kita bisa dengan mudah mempelajari aspek keseluruhan hewan tersebut secara utuh, tanpa harus menerka-nerka dari fitur tulangnya saja. Hewan yang secara geologis baru punah, seperti dodo, tikus besar galapagos dan merpati penumpang juga bisa dihidupkan kembali untuk menambah biodiversitas bumi. Namun bagi sebagian orang, ide ini memiliki konsekuensi etika yang tinggi, jika tidak sepenuhnya melanggar etika [10, 11].

Argumen etika pertama berasal dari kelompok agamis-spiritualis: Pantaskan kita bertindak sebagai Tuhan (act of playing God)? Kebanyakan hewan dan tumbuhan purba tersebut telah tersapu oleh faktor alam: bencana, perubahan iklim, dan habis dimangsa oleh predatornya; dan itu semua bisa dianggap sebagai rencana Tuhan. Biarkan apa yang telah dijadikan-Nya, terjadi demikian. Jika Tuhan menginginkan skenario itu, siapakah kita yang berhak membalikkan keputusan-Nya?

Argumen etika kedua berasal dari kaum naturalis sendiri: Dengan dikembangkannya teknologi revival, maka manusia sebagai agen utama pemusnah makhluk bumi akan semakin lancang, tidak mampu lagi dikendalikan. Harus membabat hutan namun mengancam hewan endemik hutan tersebut? Tak usah khawatir, tinggal dibangkitkan saja dengan sains. Tanpa adanya faktor penghalang manusia untuk berhenti dan berpikir, maka manusia akan terus menjadi mesin penghancur alam nomor wahid. Bagi naturalis, prinsip konservasi tidak boleh digeser oleh rekonstruksi.

Argumen ketiga terkesan konspiratif namun logis: Ketakutan digunakannya hewan punah ini sebagai senjata biologis. Topik ini dilemparkan sendiri oleh film Jurassic World. Pihak perusahaan meminta Owen Grady untuk “menjinakkan” Velociraptor asuhannya agar bisa dikontrol dan digunakan sebagai senjata militer (tentunya Owen menolak mentah-mentah). Velociraptor adalah hewan yang sangat liar, bergerak cepat, dan tangguh: senjata tak terkalahkan. Apakah kita siap menghadapi perang biologis di masa depan, ketika negara berlomba-lomba menciptakan dinosaurus tangguh tak terkalahkan, seperti Indominus rex karya Jurassic World? Perang ini akan sama kondisinya seperti lomba pembuatan nuklir besar-besaran (nuclear arms race) antara AS dan Rusia selama Perang Dingin. Sejarah telah membuktikan demikian.

Tak hanya masalah fiktif dan etika, representasi paleontologi yang hanya mempelajari dinosaurus juga tidak sepenuhnya tepat. Dinosaurus adalah reptilia raksasa yang hidup pada Zaman Trias (250-200 juta tahun yang lalu), Jura (200-145 juta tyl), dan punah sepenuhnya pada akhir Kapur (145-65 juta tyl). Di Indonesia, endapan Trias, Jura, dan Kapur lebih banyak tersingkap di Indonesia timur seperti Sulawesi, Papua, Sumba, dan Timor. Sayangnya, tidak satu pun batuan tersebut mengandung dinosaurus karena terbentuk di dasar laut, bukan habitat yang tepat untuk T-rex.

Oleh karena itu, Indonesia bukan lokasi yang ideal untuk berburu tulang dinosaurus, apalagi mengekstrak DNA-nya dan menghidupkannya kembali. Paleontologi Indonesia berfokus pada fosil flora-fauna yang cenderung berumur lebih muda. Hewan vertebrata purba baru, seperti Stegodon dan Elephas (gajah purba), Bubalus (kerbau), Bibos (banteng), Panthera (harimau), baru masuk ke Indonesia pada Kala Pleistosen (2,6-1,8 juta tahun yang lalu) melalui dataran luas yang menghubungkan Sumatra, Jawa, dan Kalimantan pada zaman es (Sundaland).

Tak bisa dipungkiri, ikon Museum Geologi Bandung yang paling menarik perhatian adalah replika fosil Tyrannosaurus rex yang dapat memberi kesan yang salah bahwa penelitian paleontologi Indonesia berkutat seputar dinosaurus. Sepertinya pihak museum telah menyadari hal ini. Untuk meluruskan kembali citra serta pemahaman publik, dua rangka gajah purba dari Blora, Elephas hysudrindicus, dipajang di aula utama, tepat di pintu masuk. Logo Museum Geologi sejak jaman kolonial juga diganti menggunakan tengkorak gajah serupa. Hal ini tentunya sangat patut diapresiasi!

Kita Butuh Representasi yang Jujur
Indiana Jones adalah petualang sejati, bukan seutuhnya arkeolog; ia mengumpulkan artefak dan “menjualnya” kepada museum. Marcus Brody menampilkan museum sebagai sosok jahat yang memperdagangkan artefak. John Hammond menciptakan kesan pengusaha serakah dengan menyalahgunakan sains. Henry Wu dicap sebagai mad scientist dan paleontolog yang bekerja pada John Hammond dianggap menghamba pada uang. Vic Hoskins adalah sosok kejam yang ingin menggunakan dinosaurus sebagai senjata biologis.

Meskipun dua blockbuster tersebut hanyalah fiksi, namun keduanya cukup memberikan pengaruh melalui misrepresentasi arkeologi dan paleontologi. Akibatnya, masyarakat merasa berhak untuk terlibat dalam transaksi artefak dan fosil secara bebas, tanpa dokumentasi yang jelas, apalagi sepengetahuan negara. Film fiksi yang menampilkan fosil dan artefak mengandung kekuatan supranatural ternyata juga menginspirasi masyarakat lokal (di samping kepercayaan tradisional yang cukup lama berkembang) untuk menjual gigi Bubalus palaeokerabau (kerbau purba) sebagai jimat atau obat mahabisa [12, 13, 14, 15].

Kita butuh representasi arkeologi dan paleontologi yang jujur, yang menampilkan problematika keilmuan yang jujur pula. Dalam hal ini, jujur dapat didefinisikan dengan mengangkat masalah keilmuan kontemporer, menjunjung diversitas dan inklusivitas, menguatkan relasi/dukungan antara peneliti dan masyarakat umum, menampilkan aktivitas arkeologi-paleontologi yang realistis dan berorientasi pada perkembangan akademik dan identitas masyarakat, bukan semata-mata untuk mendapatkan pamor, kekuasaan, atau pun harta.

Representasi ini bisa dibuat sepenuhnya fiksi atau diangkat dari kisah nyata. Banyak kisah-kisah temuan fosil, artefak, dan situs yang sebenarnya dapat menginspirasi pembuatan film fiksi yang jujur namun menyenangkan dan berkualitas tinggi. Indonesia terkenal akan temuan Homo (Pithecanthropus) erectus di Trinil oleh Eugene Dubois, yang didaulat sebagai missing link pertama yang membuktikan kebenaran teori evolusi Darwin [16]. Cerita di belakang layar penemuan manusia kerdil (hobbit) Homo floresiensis di Flores yang menggemparkan dunia [17] juga sangat menarik untuk diangkat ke dalam layar lebar.

Film The Dig yang beberapa bulan sempat menjadi primadona di Netflix adalah salah satu film arkeologis yang jujur dan penuh makna, sehingga mendapat apresiasi positif dari kalangan arkeolog dan publik. Film ini diangkat dari kisah nyata arkeolog otodidak, Basil Brown, yang ditugaskan oleh seorang pemilik tanah untuk mencari temuan arkeologis di lahannya. Berkat kerja kerasnya, Brown berhasil menemukan kapal dan artefak yang cukup tua dan penting (Anglo-Saxon, lebih tua dari zaman Viking) hingga akhirnya ekskavasinya diambil alih oleh arkeolog dari museum nasional. Meskipun sosok akademia yang ditampilkan cenderung arogan, namun film ini jujur dengan mengangkat sosok utama arkeolog otodidak dan tenaga lokal yang perannya sering kali dikesampingkan dan tidak mendapatkan pengakuan yang layak dalam dunia akademik. Selain itu, isu mengenai gender dalam dunia arkeologi juga diangkat.

Film The Gift karya Turki mungkin terkesan kurang jujur dibandingkan The Dig. Film ini mengangkat situs arkeologi Gobekli Tepe yang menjadi salah satu ikon nasional terpenting bagi identitas Turki. Meskipun dibumbui dengan fiksi yang cukup kuat (time travel), tapi karya fiksi ini berangkat dari keunikan Gobekli Tepe yang secara ilmiah diinterpretasikan sebagai situs dengan fungsi bermacam-macam: rekam rasi bintang purba, lokasi ritual, pintu bagi dunia spiritual, dan sebagainya.

Mengapa kita perlu representasi melalui film fiksi? Bukankah film dokumenter sudah cukup jujur? Benar. Namun, pada dasarnya, ketertarikan masyarakat yang paling kuat adalah melalui karya fiksi. Bukankah manusia sendiri berkembang dengan sistem kepercayaan yang fiksi (myth), seperti yang diungkapkan Yuval Noah Harari dalam buku fenomenalnya, Sapiens? Fiksi telah mengikat masyarakat sejak zaman purbakala, dan fiksi lah yang akan terus menguatkan masyarakat. Kita butuh representasi fiksi yang kuat namun jujur, menampilkan sosok arkeolog dan paleontolog yang jujur dan berangkat dari problematika keilmuan yang jujur, menjadikannya sebagai ikon keilmuan modern, mengganti sosok yang sudah usang dan tak lagi relevan.

Bila arkeolog dan paleontolog ingin keilmuannya dimengerti, dihargai, dan didukung oleh masyarakat luas, solusinya hanya ada dua: (1) Berani melangkah keluar dari bubble akademis, berinteraksi langsung dengan masyarakat baik di dunia fisik maupun digital, dan membuat keilmuannya menjadi relevan, dan (2) Membantu mengampanyekan representasi arkeologi-paleontologi melalui film fiksi yang jujur, baik, dan akurat. Pertanyaan besarnya, siapkah kita keluar dari menara gading akademia dan mengambil dua peran itu? Siapkah produsen film Indonesia yang siap membuat sains menjadi mainstream?

Saat tulisan ini diluncurkan, film Indiana Jones ke-5 (rencana rilis 2022) sedang digarap. Apakah Indy akan tampil sebagai sosok baru yang lebih relevan dan memperbaiki kesalahpahaman serta damage yang telah dibuatnya, ataukah ia akan tetap menjadi ikon arkeologi yang tak lagi sejalan dengan paradigma keilmuan? Kita akan tahu jawabannya tahun depan.

p.s.: Meskipun arkeologi dan paleontologi dalam tulisan ini menggunakan stereotype yang umum dan reduksionis, perlu diketahui bahwa tidak semua praktik cabang arkeologi dan paleontologi menggunakan sekop dan kuas, bahkan turun ke lapangan sekali pun.