Penelitian di Gunung Api Batu Tara, Nusa Tenggara Timur

Pada pertengahan Juni 2021 yang lalu, dosen dari Universitas Indonesia (Felix Sihombing, Gamma Abdul-Jabbar) dan Universitas Pertamina (Rio P. Nugroho) serta satu alumni Prodi S1 Geologi Departemen Geosains UI (Rahmat Supriyanto’17) baru saja mengadakan penelitian di Gunung Batu Tara, NTT. Penelitian yang dilakukan berupa pengambilan sampel batuan yang menyusun gunung api tersebut. Penelitian ini diadakan dalam waktu yang relatif singkat mengingat adanya pandemi Covid-19.

Kegiatan ini merupakan bagian dari kerja sama riset antara Universitas Indonesia dan The University of Queensland. Awalnya kegiatan lapangan akan dilakukan bersama-sama antara peneliti dari kedua universitas. Akan tetapi adanya pembatasan perjalanan internasional di negara Australia mengakibatkan penelitian hanya dilakukan oleh tim dari Indonesia.

Gunung api yang menjadi objek penelitian kali ini dinamai Batu Tara karena posisinya yang berada di utara dibandingkan pulau-pulau lainnya dalam Kepulauan Flores. Jika dilihat di peta, pulaunya sendiri bernama Pulau Komba, yang mana Gunung Batu Tara hampir mencakup keseluruhan pulau. Pulau ini dijuluki dengan pulau suangi oleh warga Larantuka dan Lembata,  karena konon pulau ini sering hilang lalu muncul lagi. Berdasarkan cerita kru kapal yang kami gunakan, nelayan juga kerap menghindari untuk mendarat di pulau ini.

Kegiatan penelitian di pulau yang jauh dari penduduk ini dilakukan untuk menguji hipotesis tentang terjadinya slab tearing yang mempengaruhi komposisi magma pada busur gunung api Sunda. Seperti yang kita diketahui, busur Sunda merupakan suatu busur gunung api yang dimulai dari utara Pulau Sumatra dan menerus ke Pulau Jawa, Kepulauan Sunda Kecil (Kepulauan Nusa Tenggara), dan juga Kepulauan Maluku. Sepanjang jalur magmatisme, terdapat litosfer yang tersubduksi ke bawah. Terkadang, lempengan (slab) litosfer yang tersubduksi ini bisa sobek selama proses subduksi (slab tear). Keberadaan sobekan ini dapat menyebabkan terjadinya proses magmatisme yang unik pada kerak yang berada tepat di atasnya. Magmatisme akibat proses slab tear ini akan memiliki anomali geokimia yang karena mendapatkan lebih banyak suplai magma dari astenosfer. Akibatnya, vulkanisme akan menghasilkan batuan yang lebih bersifat alkali, berbeda dari vulkanisme normal pada busur gunung api.

Selain dari komposisi kimia yang berbeda, keberadaan sobekan ini juga memungkinkan terdapatnya anomali dari lokasi vulkanisme. Vulkanisme yang berkaitan dengan proses slab tear bisa jadi terdapat jauh dari busur vulkanik yang ada. Hal inilah yang kemungkinan kita lihat di Batu Tara. Selain di Batu Tara, fenomena yang sama kemungkinan kita temui di Gunung Muria, Provinsi Jawa Tengah, dan juga Bukit Telor, Provinsi Jambi. Anomali spasial seperti ini tidak selalu terjadi, misalnya pada Gunung Tambora, Nusa Tenggara Barat yang memiliki anomali geokimia.

Ilustrasi dari proses slab tear dan magmatisme yang disebabkannya, pada daerah barat Turki (Dilek dan Altunkaynak, 2009). Slab tear menyebabkan terjadinya asthenospheric upwelling pada daerah sobekan (A), yang menyebabkan vulkanisme di tiga gunung api, yaitu Kirka, Afyon, dan Isparta-Golcuk (B)

Selain dari komposisi kimia yang berbeda, keberadaan sobekan ini juga memungkinkan terdapatnya anomali dari lokasi vulkanisme. Vulkanisme yang berkaitan dengan proses slab tear bisa jadi terdapat jauh dari busur vulkanik yang ada. Hal inilah yang kemungkinan kita lihat di Batu Tara. Selain di Batu Tara, fenomena yang sama kemungkinan kita temui di Gunung Muria, Provinsi Jawa Tengah, dan juga Bukit Telor, Provinsi Jambi. Anomali spasial seperti ini tidak selalu terjadi, misalnya pada Gunung Tambora, Nusa Tenggara Barat yang memiliki anomali geokimia.

Kenapa studi ini penting? Selain mencoba menjawab suatu pertanyaan ilmiah, studi ini juga penting dalam bidang geologi ekonomi. Ini terutama penting ketika kita mencari unsur-unsur bijih yang banyak dikandung oleh mantel dari magma. Keberadaan magmatisme purba yang berasosiasi dengan slab tear bisa jadi dapat menjelaskan kenapa berbagai zona mineralisasi di busur Sunda diperkaya oleh unsur yang berbeda.

Penelitian di Batu Tara diawali dengan perjalanan udara dari Jakarta menuju Maumere, Pulau Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Perjalanan kemudian dilanjutkan melalui jalur darat dari Maumere ke Larantuka. Dari Larantuka, perjalanan dilanjutkan menggunakan kapal nelayan yang biasa digunakan untuk memancing tuna. Perjalanan laut dari Larantuka menuju Batu Tara dapat ditempuh dalam waktu lebih kurang 5 jam.

Dari hasil observasi, sekilas batuan di daerah Batu Tara memang menunjukkan keunikan. Dilihat dari morfologinya, Batu Tara ternyata memiliki lereng yang cukup curam dibandingkan dengan gunung api strato (stratovolcano) aktif yang sering kita temukan di Pulau Jawa. Selain dari itu, material yang dilepaskan oleh gunung api cenderung berupa bongkah dengan tekstur vesikuler, yang sering kita sebut sebagai skoria. Skoria yang ditemukan dalam jumlah banyak sebenarnya lebih umum ditemukan pada gunung api berbentuk cinder cone ketimbang pada gunung api strato. Meskipun demikian, hasil erupsi yang lebih tua menunjukkan adanya perselingan antara lava dan piroklastik, yang merupakan ciri umum dari suatu gunung api strato.

Berbeda dari batuan gunung api yang umumnya bersifat intermediet dan mengandung mineral seperti plagioklas, kuarsa, atau hornblenda, hampir semua batuan beku yang ditemui mengandung mineral feldspatoid berupa leusit. Sepintas leusit berwarna putih susu seperti plagioklas. Akan tetapi jika dilihat lebih dekat, leusit ternyata memiliki habit yang berbeda dari plagioklas. Leusit pada batuan di Batu Tara sering ditemui sebagai kristal putih susu yang berbentuk hampir membulat. Ukuran kristal leusit bervariasi, mulai dari diameter 10 mm hingga +/- 2 mm Selain dari itu banyak ditemui mineral piroksen dan olivin, yang lebih sering ditemukan pada batuan yang bersifat mafik.

Penulis: Felix M.H. Sihombing

Gallery